Suatu hari, misalnya, sepupu Anda yang baru masuk kuliah hendak meminjam salah satu buku koleksi Anda. Lalu Anda sempat berpikir untuk mengarahkannya untuk membaca buku tertentu, buku yang sesuai selera Anda. “Jangan yang itu, lebih baik baca yang ini saja,” kata Anda. Dan Anda seakan-akan merasa lebih tahu dan berhak mengarahkannya hanya karena Anda melihat usia sepupu Anda terlalu muda. Tepatnya sih Anda merasa lebih tua.
Kalo kamu pernah mengalami hal tersebut – mengukur potensi seseorang berdasarkan usia – berarti kamu sedang terkungkung dalam agesime.
Apa itu ageisme?
Ageism/ageisme adalah bentuk stereotipe dan diskriminasi atau prasangka buruk terhadap individu atau kelompok berdasarkan usianya. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan diskriminasi dan prasangka terhadap remaja dan anak-anak, terlebih mengabaikan ide mereka karena mereka terlalu muda, atau mengasumsikan bahwa mereka harus berperilaku dengan cara tertentu karena usia mereka.
Menurut wikipedia, diskriminasi usia merupakan satu set keyakinan, sikap, norma, dan nilai-nilai yang digunakan untuk membenarkan prasangka dan tindakan diskriminasi. Istilah ini diperkenalkan pada 1969 oleh ahli gerontologi AS Robert N. Butler untuk menggambarkan diskriminasi terhadap warga senior. Ia mendefinisikan ageisme sebagai kombinasi dari tiga yang saling berhubungan yaitu sikap prasangka terhadap warga senior, umur tua, dan proses penuaan; praktik diskriminasi; serta praktik dan kebijakan institusional yang melanggengkan stereotipe terhadap warga senior.
Efek/dampak ageisme
Stereotipe semacam ini memang kurang jelas keburukannya di lingkungan kita, terutama di Indonesia. Kenapa? Pasalnya, diskriminasi ini dianggap lumrah dan bahkan menjadi percakapan yang selalu mengisi lini keseharian. Ageisme memiliki efek signifikan pada orang tua dan anak muda.
Dalam kehidupan sehari-hari, lansia kerap dinilai tidak bis memberikan kontribusi apapun. Produktivitas seseorang juga dinilai sudah berakhir ketika memasuki usia senja.
Seperti yang dilansir dari laman Healthjournalis.org, Todd Nelson seorang profesor psikologi dari California State University pernah mengatakan, “seluruh masyarakat membuat stereotipe bahwa orang yang sudah tua itu tidak berguna, tidak diinginkan dan menjadi beban. Ini memberitahu anak muda bahwa menjadi tua itu buruk,” tuturnya.
Tak hanya pada lansia, ageisme juga bisa terjadi pada remaja atau generasi milenial. Misalnya, generasi milenial kerap dicap manja atau bergantung pada orang tua. Dianggap kurang baca buku karena pengaruh teknologi, dan lain sebagainya. Hal seperti ini membuktikan bahwa ageisme menyerang bagi semua kalangan.
Melansir laman Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) ageisme teleh terbukti menyebabkan penyakit jantung, menurunkan tingkat kemampuan dan produktivitas diri. Efek ageisme menyebabkan isolasi sosial pada orang tua, penurunan fisik dan kognitif, kurangnya aktivitas fisik, dan beban ekonomi.
Sedang efek yang dirasakan kaum muda ialah kehilangan rasa percaya diri. Ageisme menyebabkan kebanyakan anak muda mengalami stagnasi, karena tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk maju.
Langkah memerangi diskriminasi usia
Seperti yang dilansir dari everydayhealth.com, terutama bagi para orang tua, cobalah untuk bersikap positif. Nikmati pengalaman dan kebijaksanaan yang datang seiring bertambahnya usia dan memanfaatkannya dengan baik.
Cobalah untuk mengikuti perkembangan di masa sekarang, dan pandanglah masa depan. Tunjukkan pada anak atau cucu Anda bahwa Anda tahu apa yang terjadi di sekitar.
Selain itu, cobalah berbaur atau kelilingi diri dengan anak muda. Hal ini berupaya untuk menyalurkan energi positif untuk memotivasi dan mendorong diri sendiri lebih maju.
Sumber: wikipedia dan lpmprogress.com
Yusham
Categories: Health