“Tenang, semua bakalan baik-baik saja,”
“Kamu cuma perlu berpikir positif, kok…”
“Kamu pasti bisa…”
Pernahkah kamu memberi suntikan kata-kata semangat semacam tadi tatkala temanmu sedang merasa sedih atau tertekan? Mungkin niatmu itu baik, kamu berpikir; barangkali bisa sedikit meringankan beban yang ia pikul. Tapi bagaimana jika hal tersebut malah membuat temanmu semakin terpuruk?
Memiliki pikiran dan sikap positif memang tidak salah. Dan tak dimungkiri, bahwa bersikap positif dapat memberi kekuatan dalam beberapa situasi. Namun, hal itu tak selamanya berdampak seperti yang bayangkan.
Nyatanya, berpikir dan bersikap positif tak selalu menjadi cara terbaik untuk membantu orang lain. Kamu tak bisa menabur kebaikan dan membuat masalahnya hilang begitu saja. Yang mesti digarisbawahi kadar positif yang terlalu banyak juga tidak baik dan berbahaya. Sikap positif yang berlebihan ini populer dengan istilah toxic positivity.
Apa itu toxic positivity?
Belakangan ini istilah toxic positivity memang ramai diperbincangkan. Toxic positivity merupakan istilah yang masih baru dan umumnya merujuk pada kondisi saat seseorang mengesampingkan emosi negatif dan hanya merasakan emosi positif saja. Jika kamu sedang mengalami hal ini, kamu akan mengacuhkan rasa sedih dan marah, serta langsung menutupinya dengan pemikiran positif.
Contohnya, saat kamu melihat seorang teman sedang dalam kondisi sedih atau tertekan, kamu malah menyemangatinya. Nah, pada saat itu kamu sedang menyebarkan debu toxic positivity. Namun, jika petuah positif itu tak menjawab kondisi sesungguhnya, atau hal itu kurang tepat dan tidak jujur, maka petuah itu akan menjadi racun.
Menurut Jenifer Howard Ph.D yang dilansir dari laman Roomper, nasihat untuk selalu berpikir positif atau membaca buku motivasi yang menyeluruh untuk selalu berpikir positif setiap saat justru akan membuat seseorang merasa takut, sedih, dan merasa sendiri. Terus-terusan mencoba untuk selalu berpikir positif sehingga tidak realistis malahan akan menjadi racun dan terasa palsu bagi orang tersebut.
Apa penyebabnya?
Pertama, boleh jadi seseorang tidak benar-benar menaruh perhatian, baik pada diri sendiri maupun pada orang lain.
Kedua, barangkali timbul karena petuah atau ujaran positif lebih enak terdengar dan mudah diterima oleh norma sosial. Mereka berpikir respon negatif itu tidak sedap.
Ketiga, tidak punya solusi yang tepat untuk membantu lebih dari sekadar ucapan.
Ciri-ciri toxic positivity
The Psychology Group menyebut, beberapa ciri-ciri toxic positivity antara lain:
- Mengabaikan pengalaman orang lain dengan melontarkan kata-kata dukungan positif
- Memberikan perspektif baru pada lawan bicara tanpa mempertimbangkan emosi orang lain tersebut
- Menyembunyikan perasaan sesungguhnya
- Mencoba menerima dan mengabaikan perasaan sesungguhnya
- Mengejek atau mempersekusi orang lain yang sedang merekspesikan kefrustasiannya
- Merasa bersalah akan suatu keputusan
Bagaimana solusinya?
- Jadi pendengar yang baik
Biarkan temanmu mencurahkan isi hati dan keadaan yang sedang dialaminya.
- Cobalah berempati
Tempatkan diri jika kamu berada dalam situasinya. Jika kamu bisa membayangkan dalam situasi tersebut, setidaknya kamu bisa lebih bijak dalam melontarkan respon.
- Berikan solusi konkret
Misalnya, jika temanmu mengeluh soal gaji yang tidak sesuai, cobalah beri solusi konkret seperti cari kerja tambahan atau cari lowongan pekerjaan lain, bukan sekadar ucapan, “bersyukur, masih banyak orang lain yang lebih susah dari kamu.”
- Diam lebih baik daripada memberikan toxic positivity
Namun jika kamu tak bisa memberikan solusi konkret, ada baiknya kamu diam dan jadilah pendengar yang baik. Dari pada melontarkan kata-kata atau petuah palsu.
Sumber : Psychology Today
Yusham
Categories: Health