22 (Dua Puluh Dua)

Cerita Pendek

Oleh: Renov
Dok. Renov

Hari ini Ayesha berulang tahun ke-10

Sebuah sepeda mini berwarna biru terparkir di depan rumah sangat sederhana milik pak Lili. Ayesha, biasa dipanggil Ay, memandang bahagia sepeda hadiah ulang tahun pemberian bapak. Tangannya bergetar memegang stang sepeda, membunyikan bel dan memainkan pedal.

Bahagia menyelimuti hati dan pikirannya. Walau ukurannya lebih besar dari badannya dan banyak berkarat tetapi karat ini sejarah sepeda dari toko barang bekas ke depan mata Ay.

Seperti namanya sejarah, dia hanya masa lalu. Yang terpenting adalah ke mana sepeda dapat membawanya pergi jauh.

Hari ini Ayesha berulang tahun ke-11

Sepotong kue bolu dengan lilin kecil di atasnya adalah hadiah termanis baginya. Dari potongan ujung kue yang lancip, dia merasakan lembut dan manis. Bagian yang besar Ay berikan untuk Ari dan Azis.

Kata ibu, hal indah terasa lebih manis ketika dibagi, apalagi jika mungkin tak bisa terulang lagi.

Hari ini Ayesha berulang tahun ke-12

Panas terik matahari berada tepat di atas kepala Ay. Di genggamannya ada tiga ratus ribu rupiah, uang bantuan pemerintah yang didapatnya hari ini. Dia bersama ibu mempercepat langkah, masih ada 3 kilometer lagi yang harus ditempuh sampai ke rumah.

Malu sebenarnya Ay menerima bantuan, tapi ibu bilang orang yang paling kuat adalah orang yang mengakui bahwa terkadang dia butuh bantuan orang lain. “Semoga di tahun berikutnya, aku lah yang dibutuhkan orang lain,” ujar Ay bertekad di dalam hati.

Hari ini Ay berulang tahun ke-13

Semua anak kelas 3 wajib mengikuti kegiatan berkemah selama 2 hari 1 malam yang bertempat di sekolah. Program malam itu di antaranya jurit malam sebelum api unggun.

Ay malas sebenarnya harus ikut jurit malam. Dia menyadari kalau dia penakut. Untungnya malam itu pasangan dia adalah Hadi. Badan Hadi tinggi besar mungkin bisa melindunginya, pikir Ay, jika semisal ada hantu.

Ketika tiba giliran Ay dan Hadi, awalnya mereka berjalan bersama-sama melewati kebun bambu di belakang sekolah. Tetapi lama-lama Hadi berjalan lebih cepat, sehingga Ay harus setengah lari mengejarnya. Hingga sebelum melewati kuburan dengan jalan sempit, Ay berkata kepada Hadi.

“Hadi, Ay duluan ya yang jalan. Ay, jalannya cepet deh,” pinta Ay setengah memelas.

Hadi mengangguk mengiyakan.

Selama mereka berjalan di tengah kuburan, banyak terdengar suara-suara dari sekeliling. Hadi yang berjalan di belakangnya mulai mengomel karena Ay menurutnya masih sangat lamban.

Tiba-tiba terdengar dari jauh seperti suara teriakan, kontan mereka berdua kaget. Tanpa diduga Hadi berlari dan mendorong keras badan kecil Ay di depannya hingga Ay terkantuk jatuh ke nisan.

Ay tak sadarkan diri. Entah berapa lama dia pingsan, ketika membuka mata, dia sudah berada di tenda P3K. Giginya ada yang patah dan mukanya yang terantuk lebam-lebam.

Hadi yang diminta untuk minta maaf, menolak keras-keras. Hadi berpendapat kalau saja Ay tidak lamban, tidak mungkin dia mendorongnya.

Di hari ulang tahunnya Ay merenung, ternyata hantu kalah menyeramkan dibandingkan dengan sifat manusia.

Hari ini Ayesha berulang tahun ke-14

Tahun ini Ay sudah duduk di bangku kelas 1 SMA. Ay yang pintar akhirnya diterima di SMAN favorit di kotanya. Jarak antara rumah dan sekolah yang sangat jauh membuat bapak dan ibu memutuskan untuk menitipkan dia di rumah kakek yang letaknya tidak begitu jauh dari sekolah.

Setiap hari Ay kangen bertemu dengan bapak, ibu dan kedua adiknya. Jadi ulang tahunnya kali ini dia berencana untuk pulang ke rumah. Sayang uangnya tidak cukup, hanya ada beberapa keping uang koin saja.

Sore itu Ay memutuskan untuk pergi ke bukit di dekat rumah kakek. Sesampainya di atas bukit, dia merebahkan tubuh di atas rumput, memandang langit, kemudian menutup matanya. Di benaknya dia mengingat kembali semua kenangan indah yang dia lalui bersama keluarganya.

Hari ini Ayesha berulang tahun ke-15

Ay merasa badannya gemetaran setiap melihat sosok Fadli. Fadli yang juga satu sekolah dengannya, tinggal tidak jauh dari rumah kakek. Mereka sering menunggu angkutan kota yang sama setiap pagi.

Fadli mungkin juga menyadari kalau Ay menyukainya, karena Ay selalu melemparkan pandangan dengan wajah bersemu merah ketika mereka beradu pandang.

Hari ini di jam istirahat, Fadli menatapnya tajam di seberang kelas sembari tersenyum simpul. Dia berdiri dan terus menatap Ay sampai teman-temannya harus menarik narik dia ke kantin. Mereka berteriak ke Fadli.

“Jangan dipandang, nanti sakit jika dia hilang dari pandangan!”

Walau seluruh badannya lemas tapi ini adalah hari ulang tahun terbaik sepanjang hidupnya bagi Ay dan dia bersyukur karenanya.

Hari ini Ayesha berulang tahun ke-16

Beberapa bulan yang lalu, kakek meninggal sehingga nenek tirinya meminta Ay untuk pulang ke rumah orang tuanya. Sedih sekali karena Ay sudah merasa dekat dengan kakek, setiap sore dia menemani kakek menonton acara berita kesukaannya, sambil Ay mengerjakan tugas sekolah.

Jarak yang jauh menyebabkan Ay yang tidak mempunyai uang, harus kembali menggunakan sepeda yang dia dapatkan di ulang tahunnya ke-10. Sepeda itu sekarang suka dipakai ibu untuk berbelanja ke pasar.

Hari itu sepulang sekolah, hujan turun cukup besar. Teman-temannya satu persatu meninggalkan sekolah. Ay akhirnya memutuskan menunggu di perpustakaan sambil mengerjakan tugas sekolah. Perjalanan pulang sesudah hujan biasanya lebih lama, begitu pikirnya.

Di dalam perpustakaan, dia lihat tidak begitu banyak orang. Dia pun duduk dan mulai membuka buku pelajaran. Selang beberapa lama, Ay menengok ke luar jendela, hujan masih turun dengan deras. Karena dia sudah selesai dengan PR-nya, dia memutuskan untuk mencari buku bacaan di perpustakaan. Dia mengunjungi rak demi rak, sampai ketika di rak terakhir, dia berdiri tertegun tak percaya akan apa yang dilihatnya.

Secepat kilat dia membereskan barang-barangnya, kemudian berlari ke luar dari perpustakaan. Dia berlari sampai ke tempat parkir sepedanya dan kemudian mulai mengayuh sepedanya pulang.

Sepanjang perjalanan, air mata terus bercucuran. Dia tidak perduli, orang lain toh juga tidak akan perduli.

Hari itu hujan turun semakin deras, tepat di hari ulang tahunnya. Kata orang, salah satu hal terindah di dunia adalah jatuh cinta. Buat Ay, ungkapan itu kurang tepat karena bisa menjadi yang terburuk jika dia tidak balik mencintaimu.

Hari ini Ayesha berulang tahun ke-17

Ay yang sudah selesai menjalani ospek di salah satu PTN di Kota Gudeg, tengah mencari pekerjaan tambahan seperti di restoran.

Beasiswa yang dikantonginya tidak akan cukup untuk membiayai kost dan kehidupannya selama kuliah. Dia harus mencari pekerjaan yang bisa cukup fleksibel dengan jadwal kuliah atau jika harus kerja malam hari pun tidak mengapa.

Siang ini dia ada wawancara dengan salah satu restoran cukup besar di daerah kawasan Malioboro. Sembari dia menunggu,  dia mengamati sekeliling. Laki-laki yang duduk di sebelahnya kemudian bertanya kepadanya dan mereka pun akhirnya mengobrol. Namanya Dian dan dia kebetulan juga kuliah di PTN yang sama.

Di hari ulang tahunnya yang ke-17, dia mendapatkan hadiah pekerjaan dan teman baru. Di perjalanan pulang ke kost-an, dia mengayuh sepeda birunya dan terus mengucapkan syukur atas semua berkah yang dia terima sampai saat ini.

Hari ini Ayesha berulang tahun ke-21

“Lekas pulang Bapak sakit!” Ay membaca isi singkat dari mesin fax di kantor restoran tempat dia bekerja.

Setelah meminta izin atasannya, kemudian dia pulang ke kost-an mengambil barang-barang seperlunya, dan bahan skripsi untuk dibawa pulang. Dian yang hari itu sedang libur mengantarkannya dengan sepeda motor ke stasiun kereta api.

Dian yang dia kenal semenjak dia bekerja di restoran itu, sekarang menjadi sahabat terbaik yang pernah dia punya. Mereka berkuliah di PTN yang sama hanya saja berbeda jurusan, Jika ada waktu luang mereka mencoba sebisa mungkin menghabiskan waktu bersama. Dian yang anak berada, tidak pernah malu mempunyai teman seperti dia, yang tidak punya apa-apa.

Di setiap ulang tahun mereka, mereka boleh memilih antara mendaki gunung atau pergi ke pantai, biasanya mereka pergi dengan beberapa teman lainnya. Dian juga selalu ada ketika Ay insecure dan Ay selalu ada ketika Dian sedang berada di poin terendah, terutama soal hubungan dengan pacarnya yang putus nyambung.

Hari itu Dian memberikan kadonya sebelum Ay naik ke kereta. Mereka saling memandang lama. Baru kali ini mereka akan berpisah dalam waktu yang lama.

Di dalam kereta, Ay membuka kado pemberian Dian. Di dalam boks berwarna hitam terdapat bolpoin tinta berwarna biru, mirip dengan warna sepedanya. Kemudian di bawahnya terdapat kartu dengan tulisan ceker ayam Dian.

“Selamat ulang tahun, Ay. Aku tidak tau siapa aku sampai mengenal kamu. Aku cuma mau nulis kalau orang-orang di luar sana, yang gak pernah tau artinya teman dan gak pernah menemukan seseorang yang mencintai mereka, harusnya mereka menemukan kamu. Karena hanya kamu seorang yang melihat sisi buruk mereka dan tetap tinggal di samping mereka. Seperti kamu yang selalu di sisiku.”

Mata Ay berkaca-kaca memandang kartu ucapan dari Dian. Entah perasaan apa ini, tapi rasanya ingin Ay berteriak dan menangis.

Sebelum Ay sempat memasukan kado ke dalam tasnya, tiba-tiba kereta berguncang hebat, lampu di kereta berkedip kedip. Ay berusaha berpegangan ke kursi namun beberapa saat kemudian tubuhnya terlempar dan dia tidak sadarkan diri.

Hari ini Ayesha berulang tahun ke-22

Ay duduk di bangku kayu menghadap ke danau. Danau itu biasa dia kunjungi dengan sepeda mini birunya sewaktu dia kecil. Di sampingnya duduk Bapak. Dari raut muka Bapak, dapat terlihat betapa bahagia dia duduk disitu bersama Ay.

Ay memandang ke arah Bapak, seraya berkata,

“Pak… makasih ya sudah menemani Ay disini. Ay ingin menghabiskan waktu bersama Bapak sebelum pergi berangkat ke Jerman. Akhirnya Ay bisa juga jadi Insinyur dan melanjutkan S2. Tapi itu tidak mungkin terwujud jika Ay tidak mendapatkan sepeda dari Bapak,” Ay kemudian memegang tangan Bapak sambil lanjut berkata, “Makasih ya, Pak. Ay sayang Bapak, Ibu, Ari dan Azis.”

Bapak memandang Ay dengan mata berkaca-kaca dan berkata.

“Bapak paling bangga sama kamu, Ay. Kamu adalah anak yang baik, tidak pernah mengeluh walaupun kita sulit, selalu mencoba meringankan beban Bapak dan Ibu. Maaf kami tidak sanggup membahagiakan Ay, Ari dan Azis.”

Suara Bapak terbata-bata, menahan airmata. 

Bagaimana pun juga dia tidak ingin membuat suasana ini berubah menjadi sedih. Bapak kemudian menarik napas, mencoba mengatur emosinya.

“Boleh Bapak tanya sesuatu?” tanya Bapak, tangan kanannya sekarang diletakkan di atas tangan kirinya memegang tangan Ay.

“Apakah kamu punya pacar? Bagaimana dengan Dian? Dian tampaknya baik, sopan dan sayang Ay.”

Tiba-tiba raut muka Ay berubah. Dia pun melepaskan genggaman tangan Bapak. Ay berdiri sebentar, berjalan kecil kemudian kembali duduk di samping Bapak.

“Dian sudah punya pacar, Pak. Lagipula laki-laki seperti Dian tidak mungkin mencintai Ay,” jawabnya dengan mata berlinang.

“Apa maksud, Ay? Bapak tidak mengerti,” Bapak tampak berusaha mencerna jawaban Ay.

Ay melanjutkan, airmatanya mulai mengalir dari bola matanya yang besar.

“Dian sayang Ay tapi sebagai teman. Sama seperti Fadli, Dian lebih memilih gadis paling cantik di kampus untuk jadi pacarnya. Ay hanya seorang gadis dengan gigi patah,”  Ay mulai menangis terisak.

“Bapak ingat waktu Ay pulang sekolah hampir magrib dengan kondisi basah kuyup karena hujan besar seharian?” Tanya Ay sambil menatap Bapak.

Bapak mengangguk, “Ya, Bapak ingat. Mata kamu sembab seperti habis menangis. Tapi Bapak pikir kamu menangis karena kami tidak bisa memberimu uang cukup sehingga kamu tidak perlu jauh naik sepeda.”

Ay menggelengkan kepala, dan berkata.

“Bukan, Pak. Selama setahun Ay berpikir Fadli suka dengan Ay.”

Ia berusaha menenangkan diri.

“Awalnya Ay tidak bisa jika harus berdekatan dengan Fadli, karena badan Ay selalu gemetaran. Menoleh ke mukanya saja Ay tidak sanggup.”

Ay menatap Bapak. Bola matanya bergerak gerak seakan dia mencoba mengingat sesuatu.

“Jika dia menatap Ay, Ay tidak bisa menatapnya balik. Ay tidak sanggup. Waktu dia datang  pertama kali ke rumah Kakek, mulanya Ay panik tapi Kakek bilang Ay harus bisa mengendalikan rasa bahagia supaya bisa bersikap normal,” raut muka Ay perlahan-lahan berubah melunak, dia kemudian tersenyum kecil.

Belum juga Ay melanjutkan perkataanya. Bapak berdiri dari tempat duduknya mengajak Ay untuk berjalan 100 meter ke depan. Di situ banyak yang duduk di atas rumput.

Bapak menuntun sepeda Ay dan Ay melangkah kecil di samping Bapak sambil memandang danau.

Tak lama Bapak memarkirkan sepeda Ay. Dia kemudian duduk di atas rumput. Ay pun ikut duduk di sebelahnya. Dari kejauhan, sayup terdengar lagu “You are The Sunshine of My Light”.

“Ayo lanjutkan ceritamu lagi, Ay. Kamu masih ingat bagaimana cara terbaik untuk mengingat memori terindah?” tanya Bapak yang sudah membaringkan badannya di atas rumput, menatap langit.

“Dengan berbaring, menatap langit, kemudian memejamkan mata dan mengingatnya,” jawab Ay.

Ay pun membaringkan tubuhnya di samping Bapak, sambil mengamati awan yang bergerak sebelum akhirna dia memejamkan matanya. Kemudian Ay pun berkata,

“Setelah kejadian itu. Kami sering pergi sekolah bareng. Kadang Fadli datang ke rumah Kakek, dan kami juga banyak menghabiskan waktu bersama Kakek. Sampai sekarang Ay tidak bisa lupa akan kenangan itu. Sampai sekarang Ay tidak bisa melupakan Fadli, sampai sekarang Ay masih mencintai Fadli,” ia berkata setengah berteriak, kemudian dia membuka matanya.

Air mata membanjiri bola mata Ay yang indah, Ay menyekanya. Kemudian dia kembali ke posisi duduk.

“Bapak bilang waktu selalu bisa menyembuhkan luka, tapi kenapa ini masih terasa sangat menyakitkan. Kenapa Ay tidak bisa melupakan Fadli? Kenapa Ay tidak bisa berhenti mencintainya?” Ay kembali menangis

Bapak mendekat kemudian memeluk Ay. Ia menangis tersedu-sedu di pelukan Bapak.

“Kemudian Kakek meninggal, dan Nenek Titi segera meminta Ay untuk segera keluar dari rumah seusai pemakaman Kakek padahal waktu itu sedang ujian akhir semester. Ketika Ay di sekolah, Ay tidak sempat mengatakan apa-apa kepada Fadli. Ay juga kelelahan antara bersepeda ke sekolah, belajar dan ujian.“

Tangis Ay masih belum mereda, kemudian dia melanjutkan, “Kami tidak pernah bertegur sapa lagi sejak itu, dan tepat di hari ulang tahun Ay ke-16, Ay melihat dia berpelukan dengan Sara di perpustakaan sekolah. Hati Ay hancur setelah itu dan tidak pernah utuh kembali.”

Ay berusaha mengusap air matanya.

“Bapak, sekarang bolehkah Ay bertanya sesuatu?” Tanyanya.

Bapak mengangguk.

“Kenapa kita hidup miskin? Kenapa kita sering harus menahan lapar? Kenapa kita harus berjalan kaki begitu jauh? Jika kita lihat Kakek, dia bukanlah orang yang kekurangan. Begitu juga adik dan kakak Bapak adalah orang berada. Kenapa hidup kita bagaikan langit dan bumi dengan mereka?” Tanya Ay.

Bapak kemudian duduk, memandang sejenak ke arah danau kemudian menjawab,

“Kakek tidak setuju ketika Bapak  lebih memilih menikah dengan ibumu dibandingkan harus melanjutkan ke perguruan tinggi. Ibumu mungkin berasal dari desa, tidak mempunyai pendidikan yang cukup. Tapi ibumu adalah orang tercantik, sholehah, paling baik hatinya, yang pernah Bapak temui.”

Bapak tersenyum, “Bapak tidak akan menyerahkan Ibu hanya untuk urusan dunia, Ibumu terlalu berharga.” Bapak terdiam, menghela napas dan melanjutkan.

“Maafkan Bapak tidak bisa memberikanmu kehidupan yang layak. Bapak salah sampai kalian sering kelaparan hanya karena Bapak tidak ingin mengemis ke almarhum Kakek. Tapi Bapak hanya meminta kepada Allah, dan tidak kepada manusia, Anakku.”

Bapak kemudian tersenyum.

“Karena itulah Allah memberi tiga orang anak yang baik, sholeh dan sholehah serta pintar dan Bapak bersyukur untuk itu.”

Ay lanjut berkata.

“Terima kasih karena Bapak sudah mempertahankan Ibu. Ay rasa walau kita kekurangan, kita bahagia dengan cara kita sendiri. Kita bahagia karena kita berbagi rasa sayang antara kita. Ay sayang Bapak lebih dari apapun di dunia ini.”

Bapak kembali memeluk Ay.

“Hari sudah hampir senja. Ayo segera lekas bersiap. Apakah kamu siap mengucapkan perpisahan kepada Bapak?”

Ay terdiam lalu berkata, “Ay masih mau di sini Pak. Ay masih kangen dengan Bapak.”

Bapak melepaskan pelukannya, sambil mengusap kepala Ay.

“Sudah waktunya pulang, Ay. Sudah waktunya…. Kamu mau ikut Bapak atau naik sepeda?” Bapak yang berdiri kemudian tersenyum mengulurkan tangannya ke arah Ay. “Tapi ingat jika kamu naik sepeda, jangan berhenti sampai kamu tiba di tujuan,  kamu harus terus mengayuhnya. Jalanan yang kamu lalui mungkin terjal, mungkin juga mulus. Kadang pemandangan di sekitarnya indah, kadang mengharukan, kadang juga menyeramkan. Tapi yang terpenting kamu tetap berada di jalur kamu dan selalu ingat yang menantimu di ujung perjalanan. Semoga di perjalanannya, kamu menemukan Fadli yang baru, yang mencintai dirimu sehingga kamu bisa mengucapkan perpisahan pada Fadli yang lama.” ujar Bapak.

Ay memandang Bapak syahdu, dia terdiam. Dia tidak tahu harus memilih yang mana.

Situasi di Sebuah Rumah Sakit di Yogyakarta

Dian memutarkan lagu “You are The Sunshine of My Light” dengan volume rendah sekali dari tape recorder kepunyaannya. Lagu itu adalah lagu kesukaan Ay.

Lima menit kemudian dr. Lukito memasuki ruangan unit perawatan kritis dan berjalan mendekati Dian dan ibu Ay yang duduk menghadap ke tempat tidur pasien.

“Fungsi vitalnya turun naik, dan tampak sepertinya dia mengalami sesuatu, semoga tidak memperburuk trauma pada otaknya. Untuk sementara kami sarankan untuk dibiarkan saja dulu tapi kami kembalikan lagi kepada pihak keluarga mengenai pelepasan life support,” terang dr. Lukito. “Saya tinggalkan Ibu sekarang, coba dirembukan kembali dengan keluarga. Jika ada apa-apa Ibu bisa menghubungi saya.”

Kemudian dr. Lukito meninggalkan ruangan HCU.

Ibu Ay tampak tersedu-sedu. Sudah setahun Ay mengalami koma akibat kecelakaan kereta api yang naas. Biaya pengobatan memang ditanggung oleh pihak PTKA tetapi sejak Bapak Ay meninggal setahun yang lalu, mereka kehilangan sandaran. Pendapatan Ari sebagai teknisi tidak bisa menutupi biaya pulang-pergi Bandung-Yogyakarta jika harus rutin dilakukan. Kadang Ibu berharap andai saja Bapak masih hidup, Bapak pasti tau apa yang sebaiknya mereka lakukan.

Kondisi Ay juga masih terlalu rapuh jika pindah ke rumah sakit yang lebih dekat. Karena itu Ibu, Ari, Azis dan Dian berkumpul hari ini, tepat di hari ulang tahun Ay ke-22 untuk membicarakan apakah mereka siap dengan pelepasan life support atau hidup baru di kota ini. Dian yang selama ini  menawarkan rumah orangtuanya untuk ditinggali keluarga Ay selama mereka di sini.

Dian menambahkan, sebagai pertimbangan, keluarga Ay bisa pindah ke kota Yogyakarta, dan tinggal di rumah orangtuanya yang hanya dia tempati sendirian. Mereka dapat memulai hidup baru di sini dan dekat dengan Ay.

Keempatnya saling memandang, Dian memegangi tangan Ay seakan tidak mau melepaskan. Ibu mencium kening Ay, begitu juga Ari dan Azis.

Mereka terdiam, kemudian saling memandang. Sepertinya mereka sudah yakin apa yang harus mereka putuskan kali ini.


Renov

Penulis baru, memulai menulis di blog www.renovrainbow.blogspot.com sejak bulan Juni 2020. Tulisan yang dibuat seputar kesehatan mental, pengembangan diri dan cerpen. Selama penulis menulis di blog, penulis telah memenangkan dua lomba menulis, yaitu lomba menulis di website Mubaadalah dan lomba menulis Tempo Institute. Dari kemenangan lomba itu, penulis bisa menjadi kontributor di website Mubaadalah dan berhak mengikuti kelas menulis bersama Leila S. Chudori yang diselenggarakan oleh Tempo Institute. Sebelum ini, penulis pernah memenangkan lomba menulis naskah film (juara pertama) yang diselenggarakan oleh Radio Ardan.

Editor : Yusham

Categories: Short Story

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

Gravatar
WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Google photo

You are commenting using your Google account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.