“Cowok kok nangis?”
“Halah, masa sih cowok galau. Cemen!”
“Ah, lemah… laki-laki itu harus kuat dong!”
Mungkin kamu sudah sering mendengar kalimat di atas, bukan? Atau jangan-jangan malah kamu sendiri yang sering melontarkan kalimat itu semacam itu? Jika iya, berarti kamu sedang dikuasi toxic masculinity atau maksulinitas toksik.
Apa itu toxic masculinity/maskulinitas toksik?
Toxic masculinity atau maskulinitas toksik adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan laki-laki dan bagaimana mereka bisa menjadi ‘laki-laki” yang sesungguhnya. Hal ini banyak terjadi di dalam hubungan kerja, sekolah, bahkan percintaan.
Laki-laki melakukan tersebut karena telah ditentukan oleh gagasan stereotip masyarakat patriarkal. Banyak dari kita cenderung memberi tahu anak laki-laki kita bagaimana mereka tidak boleh menyerah pada emosi mereka dan harus bertindak seperti laki-laki.
Toxic masculinity merupakan istilah yang dibuat oleh seorang psikolog bernama Sheperd Bliss pada tahun 1990. Menurutnya, istilah ini digunakan untuk memisahkan dan membedakan nilai positif dan negatif dari laki-laki. Dari penelitian yang dilakukan olehnya, ia menemukan adanya efek buruk dari maskulinitas. Ross-Williams berpendapat juga bahwa toxic masculinity, seperti yang tadi sudah dijelaskan, merupakan konstruksi sosial dari masyarakat patriarkis bahwa kemaskulinan seseorang didasari oleh perilaku-perilaku yang represif dan haus akan dominasi.
Ciri-ciri toxic masculinity:
Cukup banyak hal-hal sepele yang kerap dilakukan para laki-laki yang termasuk ke dalam perbuatan toxic masculinity tapi secara tidak langsung disadari oleh mereka.
- Jika menangis dianggap bukan laki-laki sejati
- Sering mengejek teman laki-laki yang galau karena masalah cinta
- Selalu menganggap dirinya harus dominan dalam segala hal, jika kalah dari wanita berarti dia lemah
- Mengejek sesama laki-laki yang berpenampilan bersih/rapi
- Menghina sesama laki-laki yang menggunakan skincare atau make-up
- Menganggap jika laki-laki mesti membayar semua pengeluaran kencan
- Menganggap bahwa laki-laki harus menyukai sepak bola
Efek negatif toxic masculinity pada mental dan emosi
Dapat dilihat bahwa norma-norma yang mengatur mengenai bagaimana seharusnya laki-laki bersikap dan berperilaku dapat menyebabkan munculnya toxic masculinity. Dengan adanya toxic masculinity, menyebabkan munculnya krisis identitas ketika laki-laki mencoba untuk mencapai maskulinitas yang ideal, dan kemudian dapat memberikan efek negatif pada mental dan emosi mereka, seperti:
- Menampilkan emosi yang diredam atau tidak didengar
- Menunjukkan kurangnya rasa empati
- Mengalami agresi yang cenderung bertahan lama
- Terlibat dalam perilaku kasar terhadap orang yang
- Mengalami diagnosis penyakit mental yang lebih
- Mendapatkan diagnosis gangguan psikologis yang salah
- Menghindari mencari bantuan dari profesional
*dilansir dari berbagai sumber
Editor: Yusham
Categories: Health